Di tengah desa yang dahulunya tenang, Sanxingdui, di provinsi Sichuan di China, sebuah penemuan yang luar biasa terjadi yang segera menarik perhatian internasional dan sejak itu sejarah peradaban China ditulis ulang.
Dua lubang ritual pengorbanan raksasa yang digali disana mengandung ribuan artefak emas, perunggu, batu giok, gading dan tembikar yang sangat luar biasa dan tidak seperti artefak lain yang pernah ditemukan di China sebelumnya, sehingga para arkeolog menyadari bahwa mereka baru saja membuka pintu ke sebuah budaya kuno yang bertanggal kembali antara 3.000 dan 2.800 tahun yang lalu.
Pada musim semi tahun 1929, seorang petani menggali sumur ketika ia menemukan setumpuk besar peninggalan batu giok. Ini adalah petunjuk pertama yang akhirnya mengarah pada penemuan kerajaan kuno misterius.
Generasi arkeolog Cina mencari di sekitar daerah tersebut tanpa keberhasilan sampai tahun 1986, ketika para pekerja secara tak sengaja menemukan lubang-lubang yang berisi ribuan artefak yang telah rusak, dibakar, dan kemudian dengan hati-hati dimakamkan.
Penemuan artefak-artefak aneh ini menarik perhatian dunia. Benda-benda yang ditemukan di lubang-lubang pengorbanan tersebut adalah termasuk patun hewan dan topeng dengan telinga naga, mulut terbuka dan menyeringai; kepala mirip manusia dengan topeng kertas emas; hewan hias termasuk naga, ular, dan burung; tongkat raksasa, sebuah altar pengorbanan, pohon perunggu setinggi 4 meter; kapak, tablet, cincin, pisau, dan ratusan benda-benda unik lainnya.
Diantara semua itu juga terdapat artefak perunggu terbesar di dunia dan terawetkan secara baik yaitu sosok manusia yang berdiri tegak, setinggi 2,62 meter.
Sebuah altar pengorbanan dengan beberapa hewan berkaki empat di dasarnya untuk mendukung figur-figur perunggu yang sangat mirip dengan topeng-topeng wajah besar, masing-masing memegang dengan tangan terulur semacam nampan ritual.
Namun, sejauh ini, temuan yang paling mencolok adalah puluhan topeng-topeng perunggu besar dan patung-patung kepala yang berfitur manusia dengan mata berbentuk almond, hidung lurus, wajah persegi, dan telinga besar, fitur yang sama sekali tidak mencerminkan orang-orang Asia, bahkan lebih mirip alien.
Artefak-artefak tersebut bertanggal kembali ke abad 12-11 SM. Mereka telah diciptakan dengan menggunakan teknologi pengecoran perunggu yang sangat canggih, yang dibuat dengan menambahkan kombinasi tembaga dan timah, menciptakan zat kuat yang membuat benda jauh lebih besar dan lebih berat, seperti patung seukuran manusia hidup dan patung pohon setinggi 4 meteran.
Puluhan kepala perunggu yang ditemukan di lubang, beberapa bertopeng emas. Beberapa topeng berukuran besar, salah satunya berukuran luar biasa dimana lebarnya hingga 1,32 meter dan tingginya 0,72 meter, itu adalah topeng perunggu terbesar yang pernah ditemukan.
Tiga topeng terbesar memiliki fitur yang paling supranatural dari semua artefak Sanxingdui, dengan telinga seperti hewan, dengan mata yang menonjol keluar, atau batang hiasan tambahan.
Para peneliti benar-benar terkejut menemukan gaya artistik yang benar-benar tidak dikenal dalam sejarah seni Cina, yang sejarah awalnya berdasarkan sejarah dan artefak dari peradaban Sungai Kuning.
Kepala perunggu seperti kepala naga
Penemuan spektakuler di Sanxingdui pada tahun 1986 merubah Sichuan menjadi titik fokus dalam studi Cina kuno. Artefak kuno yang ditemukan di dua lubang di Sanxingdui bertanggal ke masa dinasti Shang, pada akhir milenium kedua SM, ketika masyarakat beradab primer berkembang di lembah Sungai Kuning, di utara China, ribuan mil dari Sichuan.
Artefak Sanxingdui sama sekali tidak memiliki kemiripan dengan artefak-artefak yang dibuat dan ditemukan di tempat lain, dan tidak ada prasasti di lokasi Sanxingdui untuk menjelaskan budaya yang membuat artefak tersebut, yang tampaknya khas peradaban Zaman Perunggu, tetapi sebelumnya tidak diketahui.
Penemuan ini memberikan kontribusi terhadap perubahan mendasar dari pemahaman tradisional dari pusat tunggal peradaban di utara China untuk pengakuan keberadaan beberapa tradisi daerah, dan Sichuan jelas salah satu yang paling berbeda.
Budaya yang menghasilkan artefak tersebut sekarang dikenal sebagai Budaya Sanxingdui, dan para arkeolog mengidentifikasinya dengan kerajaan kuno Shu, menghubungkan artefak yang ditemukan di lokasi untuk raja legendaris awal.
Referensi sejarah mengenai kerajaan Shu yang berdiri pada periode awal Cina sangat sedikit (hanya disebutkan Shiji dan Shujing sebagai sekutu Zhou yang mengalahkan Shang), tetapi kisah raja-raja legendaris Shu dapat ditemukan di cerita-cerita rakyat setempat.
Menurut Chronicles of Huayang, yang disusun pada masa Dinasti Jin (265-420 M), kerajaan Shu didirikan oleh Cancong. Cancong digambarkan memiliki mata yang menonjol, sebuah fitur yang ditemukan pada artefak dari Sanxingdui. Penguasa lain yang disebutkan dalam Chronicles of Huayang termasuk Boguan, Yufu, dan Duyu.
Banyak artefak berbentuk ikan dan burung, dan ini telah diusulkan untuk menjadi totem dari Boguan dan Yufu (nama Yufu sebenarnya berarti dandang ikan).
Sebuah kepala perunggu besar dengan mata menonjol yang diyakini menggambarkan Cancong, Raja semi-legendaris pertama Kerajaan Shu.
Beberapa ahli sejarah mencoba menjelaskan hilangnya budaya Sanxingdui tersebut. Beberapa mengatakan bahwa hilangnya peradaban ini karena perang dan banjir, tetapi pendapat ini tidak terlalu meyakinkan. Baru-baru ini ada hipotesis yang menarik mengenai penyebab hilangnya budaya Sanxingdui seperti dikutip dari Livescience dibawah ini:
Sekitar 14 tahun yang lalu, arkeolog menemukan sisa-sisa kota kuno lain yang disebut Jinsha dekat Chengdu. Situs Jinsha, meskipun tidak ada kerajinan perunggu Sanxingdui yang mengesankan disana, namun memiliki mahkota emas yang diukir dengan motif seperti ikan, panah dan burung yang sama dengan kerajinan emas yang ditemukan di Sanxingdui. Hal ini menyebabkan beberapa arkeolog percaya bahwa orang-orang dari Sanxingdui mungkin telah pindah ke Jinsha.
Petunjuk Geologi dan Sejarah
Niannian Fan, seorang peneliti ilmu sungai di Universitas Tsinghua di Chengdu dan rekan-rekannya menduga bahwa mungkin sebuah gempa bumi menyebabkan tanah longsor yang membendung sungai dan menyebabkan alur sungai teralihkan ke Jinsha. Bencana seperti itu dapat mengurangi pasokan air Sanxingdui, dan memicu penduduknya untuk berpindah.
"Lembah di mana Sanxingdui berada, memiliki floodplain besar, dengan 7 kilometer dinding tebing yang tinggi yang sepertinya tidaklah mungkin telah dipotong oleh sungai kecil seperti yang sekarang mengalir melaluinya," kata Fan.
Dan beberapa catatan sejarah mendukung hipotesis mereka. Pada tahun 1099 SM, penulis kuno mencatat sebuah gempa di ibukota dinasti Zhou, di provinsi Shaanxi. Meskipun tempat itu kira-kira terletak sejauh 400 kilometer dari situs bersejarah Sanxingdui, budaya Sanxingdui tidak memiliki catatan tertulis pada saat itu, sehingga mungkin episentrum gempa benar-benar dekat dengan Sanxingdui.
Bukti geologis juga menunjukkan bahwa gempa bumi di area tersebut antara 3.330 dan 2.200 tahun yang lalu, yang menguatkan dugaan Fan.
Pada waktu yang sama, sedimen geologis memberikan petunjuk terjadinya banjir besar. Dokumen dari masa Dinasti Han, "The Chronicles of the Kings of Shu" mencatat peristiwa banjir kuno yang mengalir dari gunung, di titik dimana aliran sungai berubah arah. Sekitar 800 tahun kemudian, warga Jinsha membangun dinding untuk mencegah banjir.
Sebuah Sungai Teralihkan?
Jadi dari dokumen dan bukti geologis di atas disimpulkan bahwa gempa dahsyat memicu longsor yang mengubur sungai, mengubah alirannya, dan mengurangi aliran air menuju Sanxingdui.
Tapi, dimana aliran sungai yang beralih itu? Para arkeolog menemukan petunjuk di area pegunungan yang tinggi, tepatnya di Jurang Yanmen yang dalam dan lebar, di ketinggian 12.460 di atas permukaan air laut.
Jurang tersebut diukir oleh gletser sekitar 12.000 tahun yang lalu. Sungai di zaman modern memotong melaluinya. Namun, tanda-tanda erosi glasial itu (Cekungan berbentuk mangkuk yang dikenal sebagaicirques) secara misterius menghilang. Tim berpendapat, gempa memicu longsoran yang kemudian menyapu beberapa cirques sekitar 3.000 tahun yang lalu.
Pada titik ini, hipotesis tersebut masih sangat spekulatif. Data geologi tambahan diperlukan untuk menopangnya.
Meski dari sisi geologi ada titik terang, namun hipotesis diatas tetap memunculkan pertanyaan-pertanyaan lanjutan mengenai peradaban yang hilang ini, yaitu "Apa motif orang-orang Sanxingdui menghancurkan seluruh kebudayaan mereka dan menguburnya dalam 2 lubang? Mengapa mereka tidak memunculkan budaya mereka di Jinsha?"
Peradaban Sanxingdui adalah halaman yang unik dalam sejarah panjang Cina dan untuk saat ini masih merupakan misteri.
Dua lubang ritual pengorbanan raksasa yang digali disana mengandung ribuan artefak emas, perunggu, batu giok, gading dan tembikar yang sangat luar biasa dan tidak seperti artefak lain yang pernah ditemukan di China sebelumnya, sehingga para arkeolog menyadari bahwa mereka baru saja membuka pintu ke sebuah budaya kuno yang bertanggal kembali antara 3.000 dan 2.800 tahun yang lalu.
Pada musim semi tahun 1929, seorang petani menggali sumur ketika ia menemukan setumpuk besar peninggalan batu giok. Ini adalah petunjuk pertama yang akhirnya mengarah pada penemuan kerajaan kuno misterius.
Generasi arkeolog Cina mencari di sekitar daerah tersebut tanpa keberhasilan sampai tahun 1986, ketika para pekerja secara tak sengaja menemukan lubang-lubang yang berisi ribuan artefak yang telah rusak, dibakar, dan kemudian dengan hati-hati dimakamkan.
Penemuan artefak-artefak aneh ini menarik perhatian dunia. Benda-benda yang ditemukan di lubang-lubang pengorbanan tersebut adalah termasuk patun hewan dan topeng dengan telinga naga, mulut terbuka dan menyeringai; kepala mirip manusia dengan topeng kertas emas; hewan hias termasuk naga, ular, dan burung; tongkat raksasa, sebuah altar pengorbanan, pohon perunggu setinggi 4 meter; kapak, tablet, cincin, pisau, dan ratusan benda-benda unik lainnya.
Diantara semua itu juga terdapat artefak perunggu terbesar di dunia dan terawetkan secara baik yaitu sosok manusia yang berdiri tegak, setinggi 2,62 meter.
Sebuah altar pengorbanan dengan beberapa hewan berkaki empat di dasarnya untuk mendukung figur-figur perunggu yang sangat mirip dengan topeng-topeng wajah besar, masing-masing memegang dengan tangan terulur semacam nampan ritual.
Namun, sejauh ini, temuan yang paling mencolok adalah puluhan topeng-topeng perunggu besar dan patung-patung kepala yang berfitur manusia dengan mata berbentuk almond, hidung lurus, wajah persegi, dan telinga besar, fitur yang sama sekali tidak mencerminkan orang-orang Asia, bahkan lebih mirip alien.
Artefak-artefak tersebut bertanggal kembali ke abad 12-11 SM. Mereka telah diciptakan dengan menggunakan teknologi pengecoran perunggu yang sangat canggih, yang dibuat dengan menambahkan kombinasi tembaga dan timah, menciptakan zat kuat yang membuat benda jauh lebih besar dan lebih berat, seperti patung seukuran manusia hidup dan patung pohon setinggi 4 meteran.
Puluhan kepala perunggu yang ditemukan di lubang, beberapa bertopeng emas. Beberapa topeng berukuran besar, salah satunya berukuran luar biasa dimana lebarnya hingga 1,32 meter dan tingginya 0,72 meter, itu adalah topeng perunggu terbesar yang pernah ditemukan.
Tiga topeng terbesar memiliki fitur yang paling supranatural dari semua artefak Sanxingdui, dengan telinga seperti hewan, dengan mata yang menonjol keluar, atau batang hiasan tambahan.
Para peneliti benar-benar terkejut menemukan gaya artistik yang benar-benar tidak dikenal dalam sejarah seni Cina, yang sejarah awalnya berdasarkan sejarah dan artefak dari peradaban Sungai Kuning.
Kepala perunggu seperti kepala naga
Penemuan spektakuler di Sanxingdui pada tahun 1986 merubah Sichuan menjadi titik fokus dalam studi Cina kuno. Artefak kuno yang ditemukan di dua lubang di Sanxingdui bertanggal ke masa dinasti Shang, pada akhir milenium kedua SM, ketika masyarakat beradab primer berkembang di lembah Sungai Kuning, di utara China, ribuan mil dari Sichuan.
Artefak Sanxingdui sama sekali tidak memiliki kemiripan dengan artefak-artefak yang dibuat dan ditemukan di tempat lain, dan tidak ada prasasti di lokasi Sanxingdui untuk menjelaskan budaya yang membuat artefak tersebut, yang tampaknya khas peradaban Zaman Perunggu, tetapi sebelumnya tidak diketahui.
Penemuan ini memberikan kontribusi terhadap perubahan mendasar dari pemahaman tradisional dari pusat tunggal peradaban di utara China untuk pengakuan keberadaan beberapa tradisi daerah, dan Sichuan jelas salah satu yang paling berbeda.
Budaya yang menghasilkan artefak tersebut sekarang dikenal sebagai Budaya Sanxingdui, dan para arkeolog mengidentifikasinya dengan kerajaan kuno Shu, menghubungkan artefak yang ditemukan di lokasi untuk raja legendaris awal.
Referensi sejarah mengenai kerajaan Shu yang berdiri pada periode awal Cina sangat sedikit (hanya disebutkan Shiji dan Shujing sebagai sekutu Zhou yang mengalahkan Shang), tetapi kisah raja-raja legendaris Shu dapat ditemukan di cerita-cerita rakyat setempat.
Menurut Chronicles of Huayang, yang disusun pada masa Dinasti Jin (265-420 M), kerajaan Shu didirikan oleh Cancong. Cancong digambarkan memiliki mata yang menonjol, sebuah fitur yang ditemukan pada artefak dari Sanxingdui. Penguasa lain yang disebutkan dalam Chronicles of Huayang termasuk Boguan, Yufu, dan Duyu.
Banyak artefak berbentuk ikan dan burung, dan ini telah diusulkan untuk menjadi totem dari Boguan dan Yufu (nama Yufu sebenarnya berarti dandang ikan).
Sebuah kepala perunggu besar dengan mata menonjol yang diyakini menggambarkan Cancong, Raja semi-legendaris pertama Kerajaan Shu.
Sanxingdui diperkirakan adalah sebuah kota metropolis saat itu, yang meliputi sekitar tiga kilometer persegi. Sanxingdui telah sangat maju dalam pertanian, termasuk kemampuan memproduksi Anggur, teknologi keramik dan pembuatan alat-alat untuk kurban dan pertambangan.
Menurut temuan arkeologi, pemukiman di Sanxingdui ditinggalkan tiba-tiba sekitar 1.000 SM, Untuk alasan yang masih belum diketahui. Ya, Budaya Sanxingdui ini tiba-tiba berakhir secara misterius.
Lubang-lubang pengorbanan diyakini adalah situs orang-orang Shu kuno untuk mempersembahkan korban ke Langit, Bumi, gunung, sungai, dan dewa-dewa alam lainnya.
Figur-figur seperti manusia, topeng perunggu dengan mata menonjol dan berwajah seperti hewan, mungkin adalah dewa-dewa yang disembah oleh orang-orang Shu.
"Dilihat dari berbagai figur manusia perunggu dan benda-benda penguburan, Kerajaan Kuno Sanxingdui telah menyatukan dan memerintah masyarakat melalui agama primordial. Mereka menyembah alam, totem dan nenek moyang mereka. kerajaan Shu kuno mungkin sering mengadakan kegiatan kurban besar untuk menarik suku-suku yang berbeda keyakinan agama datang dari jauh untuk beribadah," kata Ao Tianzhao dari Museum Sanxingdui, yang telah mempelajari budaya Sanxingdui selama setengah abad.
Ia percaya bahwa sejumlah besar artefak perunggu di Sanxingdui menunjukkan bahwa situs ini digunakan untuk menjadi kiblat bagi para peziarah.
Watch Video
Sejak penemuannya, artefak-artefak dari Sanxingdui tersebut telah menerima sejumlah besar perhatian dan penghargaan internasional. Mereka telah dipamerkan di museum-museum ternama dunia seperti The British Museum, Museum Istana Nasional di Taipei, National Gallery of Art (Washington), Guggenheim Museum (New York), Museum Seni Asia (San Francisco), Galeri Seni New South Wales (Sydney ) dan Museum Olimpiade Lausanne (Swiss).
Beberapa artefak pilihan saat ini sedang dipamerkan di Museum Bowers di Santa Ana, California, dengan tema: 'Peradaban China yang Hilang: Misteri Sanxingdui, yang berlangsung dari 19 Oktober 2014 hingga 15 Maret 2015.
Penemuan artefak Sanxingdui mengejutkan dunia, tapi sejarah artefak-artefak tersebut masih merupakan misteri. Hanya benda-benda yang ditemukan dari dua lubang tersebut yang mencerminkan peradaban kuno dan brilian dari Shu dan tidak ada artefak lain seperti itu yang pernah ditemukan sejak itu.
Tidak ada catatan sejarah, dan tidak ada teks-teks kuno yang berbicara tentang mereka. Sehingga masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab seperti apa tujuan benda-benda itu dibuat, dari mana budaya itu berasal, dan kemana mereka pergi setelah mereka mengubur harta mereka yang paling berharga.
Menurut temuan arkeologi, pemukiman di Sanxingdui ditinggalkan tiba-tiba sekitar 1.000 SM, Untuk alasan yang masih belum diketahui. Ya, Budaya Sanxingdui ini tiba-tiba berakhir secara misterius.
Lubang-lubang pengorbanan diyakini adalah situs orang-orang Shu kuno untuk mempersembahkan korban ke Langit, Bumi, gunung, sungai, dan dewa-dewa alam lainnya.
Figur-figur seperti manusia, topeng perunggu dengan mata menonjol dan berwajah seperti hewan, mungkin adalah dewa-dewa yang disembah oleh orang-orang Shu.
"Dilihat dari berbagai figur manusia perunggu dan benda-benda penguburan, Kerajaan Kuno Sanxingdui telah menyatukan dan memerintah masyarakat melalui agama primordial. Mereka menyembah alam, totem dan nenek moyang mereka. kerajaan Shu kuno mungkin sering mengadakan kegiatan kurban besar untuk menarik suku-suku yang berbeda keyakinan agama datang dari jauh untuk beribadah," kata Ao Tianzhao dari Museum Sanxingdui, yang telah mempelajari budaya Sanxingdui selama setengah abad.
Ia percaya bahwa sejumlah besar artefak perunggu di Sanxingdui menunjukkan bahwa situs ini digunakan untuk menjadi kiblat bagi para peziarah.
Watch Video
Sejak penemuannya, artefak-artefak dari Sanxingdui tersebut telah menerima sejumlah besar perhatian dan penghargaan internasional. Mereka telah dipamerkan di museum-museum ternama dunia seperti The British Museum, Museum Istana Nasional di Taipei, National Gallery of Art (Washington), Guggenheim Museum (New York), Museum Seni Asia (San Francisco), Galeri Seni New South Wales (Sydney ) dan Museum Olimpiade Lausanne (Swiss).
Beberapa artefak pilihan saat ini sedang dipamerkan di Museum Bowers di Santa Ana, California, dengan tema: 'Peradaban China yang Hilang: Misteri Sanxingdui, yang berlangsung dari 19 Oktober 2014 hingga 15 Maret 2015.
Penemuan artefak Sanxingdui mengejutkan dunia, tapi sejarah artefak-artefak tersebut masih merupakan misteri. Hanya benda-benda yang ditemukan dari dua lubang tersebut yang mencerminkan peradaban kuno dan brilian dari Shu dan tidak ada artefak lain seperti itu yang pernah ditemukan sejak itu.
Tidak ada catatan sejarah, dan tidak ada teks-teks kuno yang berbicara tentang mereka. Sehingga masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab seperti apa tujuan benda-benda itu dibuat, dari mana budaya itu berasal, dan kemana mereka pergi setelah mereka mengubur harta mereka yang paling berharga.
Beberapa ahli sejarah mencoba menjelaskan hilangnya budaya Sanxingdui tersebut. Beberapa mengatakan bahwa hilangnya peradaban ini karena perang dan banjir, tetapi pendapat ini tidak terlalu meyakinkan. Baru-baru ini ada hipotesis yang menarik mengenai penyebab hilangnya budaya Sanxingdui seperti dikutip dari Livescience dibawah ini:
Sekitar 14 tahun yang lalu, arkeolog menemukan sisa-sisa kota kuno lain yang disebut Jinsha dekat Chengdu. Situs Jinsha, meskipun tidak ada kerajinan perunggu Sanxingdui yang mengesankan disana, namun memiliki mahkota emas yang diukir dengan motif seperti ikan, panah dan burung yang sama dengan kerajinan emas yang ditemukan di Sanxingdui. Hal ini menyebabkan beberapa arkeolog percaya bahwa orang-orang dari Sanxingdui mungkin telah pindah ke Jinsha.
Petunjuk Geologi dan Sejarah
Niannian Fan, seorang peneliti ilmu sungai di Universitas Tsinghua di Chengdu dan rekan-rekannya menduga bahwa mungkin sebuah gempa bumi menyebabkan tanah longsor yang membendung sungai dan menyebabkan alur sungai teralihkan ke Jinsha. Bencana seperti itu dapat mengurangi pasokan air Sanxingdui, dan memicu penduduknya untuk berpindah.
"Lembah di mana Sanxingdui berada, memiliki floodplain besar, dengan 7 kilometer dinding tebing yang tinggi yang sepertinya tidaklah mungkin telah dipotong oleh sungai kecil seperti yang sekarang mengalir melaluinya," kata Fan.
Dan beberapa catatan sejarah mendukung hipotesis mereka. Pada tahun 1099 SM, penulis kuno mencatat sebuah gempa di ibukota dinasti Zhou, di provinsi Shaanxi. Meskipun tempat itu kira-kira terletak sejauh 400 kilometer dari situs bersejarah Sanxingdui, budaya Sanxingdui tidak memiliki catatan tertulis pada saat itu, sehingga mungkin episentrum gempa benar-benar dekat dengan Sanxingdui.
Bukti geologis juga menunjukkan bahwa gempa bumi di area tersebut antara 3.330 dan 2.200 tahun yang lalu, yang menguatkan dugaan Fan.
Pada waktu yang sama, sedimen geologis memberikan petunjuk terjadinya banjir besar. Dokumen dari masa Dinasti Han, "The Chronicles of the Kings of Shu" mencatat peristiwa banjir kuno yang mengalir dari gunung, di titik dimana aliran sungai berubah arah. Sekitar 800 tahun kemudian, warga Jinsha membangun dinding untuk mencegah banjir.
Sebuah Sungai Teralihkan?
Jadi dari dokumen dan bukti geologis di atas disimpulkan bahwa gempa dahsyat memicu longsor yang mengubur sungai, mengubah alirannya, dan mengurangi aliran air menuju Sanxingdui.
Tapi, dimana aliran sungai yang beralih itu? Para arkeolog menemukan petunjuk di area pegunungan yang tinggi, tepatnya di Jurang Yanmen yang dalam dan lebar, di ketinggian 12.460 di atas permukaan air laut.
Jurang tersebut diukir oleh gletser sekitar 12.000 tahun yang lalu. Sungai di zaman modern memotong melaluinya. Namun, tanda-tanda erosi glasial itu (Cekungan berbentuk mangkuk yang dikenal sebagaicirques) secara misterius menghilang. Tim berpendapat, gempa memicu longsoran yang kemudian menyapu beberapa cirques sekitar 3.000 tahun yang lalu.
Pada titik ini, hipotesis tersebut masih sangat spekulatif. Data geologi tambahan diperlukan untuk menopangnya.
Meski dari sisi geologi ada titik terang, namun hipotesis diatas tetap memunculkan pertanyaan-pertanyaan lanjutan mengenai peradaban yang hilang ini, yaitu "Apa motif orang-orang Sanxingdui menghancurkan seluruh kebudayaan mereka dan menguburnya dalam 2 lubang? Mengapa mereka tidak memunculkan budaya mereka di Jinsha?"
Peradaban Sanxingdui adalah halaman yang unik dalam sejarah panjang Cina dan untuk saat ini masih merupakan misteri.