Bagi golongan tertentu, terutama masyarakat Jawa, malam satu suro adalah malam yang sangat wingit, tak pelak pada malam tersebut warga akan mengisinya dengan melakukan ritual khusus seperti penjamasan, kungkum, dan lain sebagainya.
Dengan adanya ritual-ritual khusus itu, maka masyarakat percaya malam 1 Suro sangat identik dengan nuansa mistis. Benarkah atau hanya mitos?
Dengan kondisi tersebut, biasanya pada malam 1 Suro, masyarakat Jaya yang memiliki senjata pusaka akan mencucinya. Orang Jawa biasa menyebutnya dengan Penjamasan.
Menjamas senjata pusaka seperti keris, tombak dan lain sebagainya juga tidak sembarangan. Harus ada ritual khusus yang dilakukan, seperti puasa, pati geni, sesaji, bakar menyan, tumpengan dan segala tetek bengeknya.
Masyarakat Jawa, yakin dengan melakukan ritual mencuci benda pusaka di malam 1 Suro, akan membuat kesaktian pusaka leluhur yang dititipkan kepadanya tidak akan pudar.
Dengan adanya kepercayaan itu, maka malam 1 suro bagi masyarakat Jawa, begitu penting. Dimensi gaib dan mistis di malam ini sangat kuat.
Bagi mereka yang tidak memiliki pusaka juga tetap bisa melakukan ritual khusus di malam 1 Suro, misalkan melakukan ritual kungkum atau berendam di kali, tempat kungkumnya juga tidak boleh sembarangan, harus dilakukan di areal pertemuan dua anak sungai.
Bagi masyarakat Jawa yang tinggal di sekitar Keraton Surakarta, juga bisa melakukan ritual Mubeng Benteng (Mengitari Benteng Surakarta).
Keraton Surakarta dan Yogyakarta hingga saat ini masih mempertahankan ritual penjamasan keris pusaka tiap malam 1 Suro.
Yang tidak punya benda pusaka pun, bisa mencari berkah dengan mengambil air yang digunakan untuk penjamasan. Dengan adanya kepercayaan itu juga, jangan heran kalau kemudian air bekas pencucian benda pusaka selalu menjadi rebutan warga.
Sebagian itu, orang Jawa juga menyakini bahwa Bulan Suro sebagai bulan penuh kesialan, itulah yang menyebabkan pada bulan tersebut `dilarang` melakukan pesta khususnya pernikahan.
Bagi mereka yang percaya itungan-itungan Primbon, tentu tidak akan menggelar pesta pernikahan di Bulan Suro.
Dalam persepsi Islam, bulan sial seperti Suro tentu tidak ada. Semua hari adalah baik dan tidak ada waktu atau tanggal yang bisa membawa kesialan pada manusia.
Munculnya kepercayaan tentang bulan Suro sebagai bulan sial, hal ini tidak lepas dari latar belakang sejarah zaman kerajaan tempo dulu.
Pada zaman itu di Bulan Suro sebagian keraton di Pulau Jawa mengadakan ritual memandikan pusaka keraton.
Ritual menjamas pusaka keraton pada zaman dahulu menjadi sebuah tradisi yang menyenangkan bagi masyarakat yang memang masih haus akan hiburan.
Sehingga dengan kekuatan karisma keraton dibuatlah stigma tentang `angker` bulan Suro.
Jika di bulan Suro rakyat mengadakan hajatan khususnya pesta pernikahan, bisa mengakibatkan sepinya ritual yang diadakan keraton alias keraton kalah pamor. Dampaknya akan mengurangi legitimasi dan kewibawaan keraton, yang pada saat itu merupakan sumber segala hukum. Tradisi memandikan keris dan pusaka ini juga menjadi ajang untuk memupuk kesetiaan rakyat kepada Keraton.
Mitos tentang keangkeran bulan Suro ini demikian kuat dihembuskan, agar rakyat percaya dan tidak mengadakan kegiatan yang bisa menganggu acara keraton. Dan hingga kini kepercayaan tersebut masih demikian kuat dipegang oleh sebagian orang. Sehingga ada sekelompok orang yang pada bulan Suro tidak berani mengadakan acara tertentu karena dianggap bisa membawa sial.
Namun bagaimana pun juga kepercayaan akan malam 1 Suro dan Bulan Suro masih mengakar kuat. Segala ritual yang dilakukan di malam 1 Suro seolah menjadi tradisi unik yang dimiliki dan dipercayai masyarakat Jawa yang kaya budaya adiluhung.
Tentu tidak ada salahnya juga tetap menjaga tradisi di masyarakat.
Lalu benarkah Malam 1 Suro itu benar-benar keramat? Atau hanya mitos belaka?
Setiap orang tentu memiliki cara dan sudut pandang sendiri untuk menilai dan mengukurnya.
Dengan adanya ritual-ritual khusus itu, maka masyarakat percaya malam 1 Suro sangat identik dengan nuansa mistis. Benarkah atau hanya mitos?
Dengan kondisi tersebut, biasanya pada malam 1 Suro, masyarakat Jaya yang memiliki senjata pusaka akan mencucinya. Orang Jawa biasa menyebutnya dengan Penjamasan.
Menjamas senjata pusaka seperti keris, tombak dan lain sebagainya juga tidak sembarangan. Harus ada ritual khusus yang dilakukan, seperti puasa, pati geni, sesaji, bakar menyan, tumpengan dan segala tetek bengeknya.
Masyarakat Jawa, yakin dengan melakukan ritual mencuci benda pusaka di malam 1 Suro, akan membuat kesaktian pusaka leluhur yang dititipkan kepadanya tidak akan pudar.
Dengan adanya kepercayaan itu, maka malam 1 suro bagi masyarakat Jawa, begitu penting. Dimensi gaib dan mistis di malam ini sangat kuat.
Bagi mereka yang tidak memiliki pusaka juga tetap bisa melakukan ritual khusus di malam 1 Suro, misalkan melakukan ritual kungkum atau berendam di kali, tempat kungkumnya juga tidak boleh sembarangan, harus dilakukan di areal pertemuan dua anak sungai.
Bagi masyarakat Jawa yang tinggal di sekitar Keraton Surakarta, juga bisa melakukan ritual Mubeng Benteng (Mengitari Benteng Surakarta).
Keraton Surakarta dan Yogyakarta hingga saat ini masih mempertahankan ritual penjamasan keris pusaka tiap malam 1 Suro.
Yang tidak punya benda pusaka pun, bisa mencari berkah dengan mengambil air yang digunakan untuk penjamasan. Dengan adanya kepercayaan itu juga, jangan heran kalau kemudian air bekas pencucian benda pusaka selalu menjadi rebutan warga.
Sebagian itu, orang Jawa juga menyakini bahwa Bulan Suro sebagai bulan penuh kesialan, itulah yang menyebabkan pada bulan tersebut `dilarang` melakukan pesta khususnya pernikahan.
Bagi mereka yang percaya itungan-itungan Primbon, tentu tidak akan menggelar pesta pernikahan di Bulan Suro.
Dalam persepsi Islam, bulan sial seperti Suro tentu tidak ada. Semua hari adalah baik dan tidak ada waktu atau tanggal yang bisa membawa kesialan pada manusia.
Munculnya kepercayaan tentang bulan Suro sebagai bulan sial, hal ini tidak lepas dari latar belakang sejarah zaman kerajaan tempo dulu.
Pada zaman itu di Bulan Suro sebagian keraton di Pulau Jawa mengadakan ritual memandikan pusaka keraton.
Ritual menjamas pusaka keraton pada zaman dahulu menjadi sebuah tradisi yang menyenangkan bagi masyarakat yang memang masih haus akan hiburan.
Sehingga dengan kekuatan karisma keraton dibuatlah stigma tentang `angker` bulan Suro.
Jika di bulan Suro rakyat mengadakan hajatan khususnya pesta pernikahan, bisa mengakibatkan sepinya ritual yang diadakan keraton alias keraton kalah pamor. Dampaknya akan mengurangi legitimasi dan kewibawaan keraton, yang pada saat itu merupakan sumber segala hukum. Tradisi memandikan keris dan pusaka ini juga menjadi ajang untuk memupuk kesetiaan rakyat kepada Keraton.
Mitos tentang keangkeran bulan Suro ini demikian kuat dihembuskan, agar rakyat percaya dan tidak mengadakan kegiatan yang bisa menganggu acara keraton. Dan hingga kini kepercayaan tersebut masih demikian kuat dipegang oleh sebagian orang. Sehingga ada sekelompok orang yang pada bulan Suro tidak berani mengadakan acara tertentu karena dianggap bisa membawa sial.
Namun bagaimana pun juga kepercayaan akan malam 1 Suro dan Bulan Suro masih mengakar kuat. Segala ritual yang dilakukan di malam 1 Suro seolah menjadi tradisi unik yang dimiliki dan dipercayai masyarakat Jawa yang kaya budaya adiluhung.
Tentu tidak ada salahnya juga tetap menjaga tradisi di masyarakat.
Lalu benarkah Malam 1 Suro itu benar-benar keramat? Atau hanya mitos belaka?
Setiap orang tentu memiliki cara dan sudut pandang sendiri untuk menilai dan mengukurnya.
Labels:
Mistis
Thanks for reading Alasan Mengapa Malam 1 Suro dikepung Aura Mistis. Please share...!